Jelaskan Dampak Terjadinya Perang Dunia 1

Jelaskan Dampak Terjadinya Perang Dunia 1

Proses Terjadinya Petir

Foto: Proses Terjadinya Petir (Orami Photo Stock)

Petir adalah salah satu fenomena fisika yang terjadi di alam.

Proses terjadinya petir dimulai ketika ada perbedaan muatan listrik antara awan dan permukaan bumi, atau antar awan itu sendiri.

Proses ini dimulai saat awan cumulonimbus terbentuk, biasanya karena udara yang naik dengan cepat.

Di dalam awan tersebut, partikel-partikel es dan air bergerak dan saling bertabrakan, menyebabkan pemisahan muatan listrik.

Muatan negatif berkumpul di bagian bawah awan, sementara muatan positif berkumpul di bagian atas.

Ketika perbedaan muatan ini menjadi cukup besar, muatan negatif di awan akan mencari jalan menuju muatan positif di permukaan bumi atau di awan lain.

Jalur ini akan menciptakan kilatan cahaya yang kita lihat sebagai petir.

Suara gemuruh atau guntur yang mengikuti petir terjadi karena udara di sekitar kilatan petir memanas dengan sangat cepat, sehingga menciptakan gelombang suara.

Baca Juga: Mengenal Penyebab Gempa Bumi di Indonesia, Waspada Moms!

Fakta lain yang tidak kalah menarik dari proses terjadinya petir yaitu jenisnya.

Ternyata, petir terdiri dari beberapa jenis, yang meliputi:

Kronologi Perang Dunia I: Siapa yang Menang?

Dikutip dari The Major International Treaties of the Twentieth Century: A History and Guide with Texts (2013) suntingan John Grenville dan Bernard Wasserstein, Triple Alliance terdiri dari Austria-Hongaria, Jerman, dan Italia.

Sedangkan Triple Entente terdiri dari Rusia, Republik Ketiga Prancis, serta Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia, yang mendukung Serbia. Tahun 1915, Italia membelot dari Triple Alliance dan menyeberang ke kubu Triple Entente.

Kekuatan Triple Entente kembali bertambah pada 1917 setelah Amerika Serikat turut bergabung lantaran ingin memerangi Jerman. Amerika Serikat menuding Jerman terlibat dalam peristiwa tenggelamnya Kapal Lusitania pada 1915. Kapal tersebut membawa 128 warga negara Amerika Serikat.

Pada perkembangannya, perang semakin meluas, termasuk dengan bergabungnya Turki Usmani dan Bulgaria dengan Triple Alliance bersama Austria-Hongaria dan Jerman.

Ternyata, Triple Alliance kewalahan. Sejak tanggal 8 Agustus 1918, Triple Entente melancarkan Serangan Seratus Hari. Austria-Hongaria dan Jerman akhirnya menyerah pada 11 November 1918 akibat serangan itu, disusul kemudian oleh Turki dan Bulgaria.

Dengan demikian, pemenang Perang Dunia I adalah Triple Entente yang terdiri dari Rusia, Prancis, Inggris, Irlandia, Serbia, Italia, serta Amerika Serikat.

Intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta

Salah satu penyebab umum terjadinya Perang Diponegoro adalah intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta.

Terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi tiga kekuasaan (Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran), pada abad ke-18 tidak lepas dari campur tangan Belanda.

Memasuki abad ke-19, situasi di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan.

Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada atau justru melahirkan permasalahan baru di lingkungan kerajaan.

Hal ini juga terjadi di Yogyakarta, di mana konflik di keraton dimanfaatkan Belanda untuk menerapkan taktik adu domba.

Campur tangan pihak kolonial tidak hanya memicu perpecahan, tetapi juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara.

Sejak Sultan Hamengkubuwono III memegang tumpuk pemerintahan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro sangat malu dan prihatin terhadap terjadinya konflik suksesi di keraton.

Bahkan, karena sang ayah sangat sekuler dan cenderung pada budaya Barat, Pangeran Diponegoro memillih meninggalkan aktivitas di keraton dan hanya melakukan audiensi kepada ayahnya pada hari-hari besar.

Baca juga: Siapa Saja Tokoh yang Membantu Perang Diponegoro?

Mengapa Badai Petir Bisa Terjadi?

Foto: Kilat (Unsplash.com/Ben Owen)

Faktanya, badai petir diciptakan oleh pemanasan yang intens di permukaan bumi.

Kondisi ini paling sering terjadi di daerah-daerah di dunia di mana cuacanya panas dan lembap.

Mengutip National Meteorological Library & Archive, area daratan lebih sering mengalami badai petir daripada area lautan.

Selain itu, badai petir juga lebih sering terjadi di daerah tropis daripada wilayah di garis lintang yang lebih tinggi.

Petir dan suara gemuruh biasanya datang beriringan.

Namun, petir dan gemuruh ini bisa datang bersamaan bisa datang dalam waktu yang berbeda.

Pasalnya, terdapat perbedaan kecepatan cahaya dan kecepatan suara dari keduanya.

Kecepatan cahaya ini nyatanya jauh lebih cepat dibandingkan kecepatan suara.

Oleh karena itu, Moms akan melihat petir akan menyambar lebih dahulu baru setelahnya akan terdengar suara guntur.

Lantas, bagaimana sih proses terjadinya petir? Berikut ulasannya!

Baca Juga: Begini Proses Terjadinya Hujan, Moms Bisa Jelaskan pada Anak untuk Menambah Pengetahuannya

Sejarah dan Latar Belakang Perang Dunia I

Latar belakang sejarah terjadinya Perang Dunia I dipicu oleh peristiwa terbunuhnya pewaris takhta Kerajaan Austria-Hongaria, yaitu Pangeran Franz Ferdinand. Pangeran Ferdinand dibunuh di Sarajevo, Bosnia-Herzegovina, pada 28 Juni 1914.

Pembunuh sang pangeran adalah Gavrilo Princip yang merupakan seorang nasionalis Serbia. Atas insiden itu, pihak Austria-Hongaria menuduh Serbia sebagai dalang dari pembunuhan tersebut dan memberikan ultimatum keras serta menyatakan perang.

David Evans dalam The First World War (2004) menyebutkan, Austria-Hongaria menggerakkan invasi ke Serbia pada 28 Juli 1914. Selanjutnya, Austria-Hongaria bersama Jerman juga menyerang ke Belgia yang saat itu terikat perjanjian dengan Prancis.

Kerajaan Inggris Raya dan Irlandia ikut bergabung dengan karena kala itu sedang terlibat persaingan dengan Jerman di bidang industri dan militer.

Konflik yang mulanya terjadi antara Austria-Hongaria melawan Serbia meluas menjadi perang besar, karena sekutu dari kedua belah pihak turut memanaskan situasi.

Terbentuklah kubu-kubu yang menyebabkan peperangan semakin besar dan meluas bahkan hingga melibatkan negara dari luar Eropa, yakni Triple Alliance (Aliansi Tiga) melawan Triple Entente (Entente Tiga).

Jika disimpulkan, latar belakang atau penyebab timbulnya Perang Dunia I adalah sebagai berikut:

Petir Cloud-to-Air (CA)

Jenis petir berikutnya yakni cloud-to-air (CA), yaitu jenis petir yang terjadi antara awan dan udara.

Proses terjadinya petir CA diawali dengan berkumpulnya muatan listrik di dalam awan dan melepaskan diri secara cepat.

Setelah itu, pancaran kilatan petir dilakukan ke udara di sekitarnya.

Berbeda dengan jenis petir CG, kilatan petir CA terlihat sebagai cahaya yang terang dan biasanya berwarna putih atau warna biru.

Suara guntur yang dihasilkan oleh petir CA lebih lemah daripada petir CG.

Pasalnya, pada jenis petir ini tidak terjadi arus petir yang besar.

Petir ground-to-cloud (GC) adalah jenis petir yang terjadi antara permukaan bumi dan awan.

Akhir dan Dampak Perang Dunia I

Perang Dunia I menimbulkan dampak yang besar dan berpengaruh terhadap banyak negara. Setidaknya 4 kekaisaran runtuh usai perang ini, yaitu Jerman, Austria-Hongaria, Turki Ustmaniyah, dan Rusia.

Banyak negara yang mengalami kehancuran parah, termasuk Belgia dan Serbia, juga Prancis, Jerman, serta Rusia. Martin Kitchen dalam Europe Between the Wars (1980) mencatat, tidak kurang dari 8 juta tentara asal Eropa tewas, 7 juta orang lainnya mengalami cacat permanen, ditambah 15 juta orang yang terluka parah.

Dampak ekonomi juga amat terasa. Kelaparan terjadi di mana-mana, bahkan hingga di luar Eropa. Jutaan orang kehilangan rumah dan sebagian harus pindah ke negara lain, sampai ke Amerika Serikat bahkan Cina.

Tak hanya itu. Perang Dunia I juga menyebabkan munculnya wabah yang menyebar dan menewaskan jutaan orang serta puluhan juta lainnya terinfeksi, terutama wabah tipus, malaria, dan influenza.

Untuk pandemi flu saja, seperti yang terangkum dalam The Threat of PandemicInfluenza (2005) suntingan Stacey L. Knobler, secara keseluruhan telah menyebabkan tidak kurang dari 50 juta orang kehilangan nyawa.

Selengkapnya, berikut ini berbagai dampak yang ditimbulkan akibat Perang Dunia I:

KOMPAS.com - Perang Diponegoro adalah serangkaian pertempuran antara Pangeran Diponegoro melawan Belanda, yang berlangsung dari tahun 1825 hingga 1830.

Pangeran Diponegoro merupakan putra Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811).

Bermula di Yogyakarta, tempat terjadinya Perang Diponegoro meluas hingga ke banyak daerah di Jawa.

Oleh sebab itu, perlawanan Pangeran Diponegoro juga kerap disebut sebagai Perang Jawa.

Apa sebab umum dan sebab khusus terjadinya Perang Diponegoro?

Baca juga: Perang Diponegoro: Penyebab, Strategi, dan Dampaknya

Petir Cloud-to-Ground (CG)

Salah satu jenis petir yang terjadi di alam yaitu cloud-to-ground (CG).

Ini adalah jenis petir yang terjadi antara awan dengan permukaan bumi.

Proses terjadinya petir CG diawali dengan berkumpulnya muatan listrik di dalam awan yang kemudian melepaskan diri secara cepat.

Muatan listrik tersebut meluncur ke permukaan bumi melalui jalur konduktor yang ada di bawahnya.

Jalur konduktor yang dimaksud bisa berupa pohon, gedung, menara, atau benda-benda lain yang menghantarkan listrik dengan mudah.

Petir ini bisa juga terbentuk oleh ionisasi udara di sekitarnya.

Petir CG terlihat sebagai kilatan cahaya yang sangat terang dan diikuti oleh suara guntur yang keras.

Intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta

Salah satu penyebab umum terjadinya Perang Diponegoro adalah intervensi Belanda di Keraton Yogyakarta.

Terbaginya Kerajaan Mataram Islam menjadi tiga kekuasaan (Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran), pada abad ke-18 tidak lepas dari campur tangan Belanda.

Memasuki abad ke-19, situasi di Surakarta dan Yogyakarta semakin memprihatinkan.

Intervensi pemerintah kolonial terhadap pemerintahan lokal tidak jarang mempertajam konflik yang sudah ada atau justru melahirkan permasalahan baru di lingkungan kerajaan.

Hal ini juga terjadi di Yogyakarta, di mana konflik di keraton dimanfaatkan Belanda untuk menerapkan taktik adu domba.

Campur tangan pihak kolonial tidak hanya memicu perpecahan, tetapi juga membawa pergeseran adat dan budaya keraton yang tidak sesuai dengan budaya Nusantara.

Sejak Sultan Hamengkubuwono III memegang tumpuk pemerintahan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro sangat malu dan prihatin terhadap terjadinya konflik suksesi di keraton.

Bahkan, karena sang ayah sangat sekuler dan cenderung pada budaya Barat, Pangeran Diponegoro memillih meninggalkan aktivitas di keraton dan hanya melakukan audiensi kepada ayahnya pada hari-hari besar.

Baca juga: Siapa Saja Tokoh yang Membantu Perang Diponegoro?

Penobatan Pangeran Menol

Pada 16 Desember 1822, Sultan Hamengkubuwono IV meninggal secara mendadak di usia 18 tahun.

Residen Yogyakarta, Baron de Salis, pada awalnya meminta Pangeran Diponegoro untuk menggantikan, tetapi ia menolak.

Pangeran Diponegoro juga menolak kalau Belanda menunjuk Pangeran Menol, yang masih berusia dua tahun, naik takhta.

Ada dua alasan yang mendasari penolakan ini, yaitu karena usia dan latar belakang ibu Pangeran Menol.

Abai dengan pendapat Pangeran Diponegoro, tujuh hari setelah kematian Sultan Hamengkubuwono IV, pemerintah Hindia Belanda menobatkan Pangeran Menol sebagai sultan.

Pangeran Diponegoro merasa Belanda sudah terlalu banyak mencampuri urusan keraton dan tidak dapat dibiarkan lagi.

Oleh sebab itu, Pangeran Diponegoro mulai menyusun strategi untuk melakukan perlawanan.

Baca juga: Siapakah Nama Asli Pangeran Diponegoro?